Minggu, 01 April 2012

ROAD TO JAPAN, EPISODE PROVINS



Bulan Desember 2010 aku sudah menyiapkan naskah untuk lomba pidato bahasa Jepang tingkat provinsi. Aku pun sudah berlatih cara pelafalan kata per kata dengan sensei ku. Tinggal menyerahkan rekaman suara dan naskah di bulan Januari 2011 ke salah satu universitas negeri di Surabaya. Namun, aku menunda-nunda untuk membuat rekaman suara hingga tanggal pengumpulan naskah pun datang, yakni 10 Januari 2011. Tepat di hari itu, aku membuat rekaman suara di kelas dengan keadaan yang cukup berisik. Aku takut suaraku tidak terdengar jelas. Setelah selesai merekam suara masalah selanjutnya pun muncul. Bagaimana cara menyerahkan rekaman dan naskah ke universitas di surabaya yang sangat jauh? Sedangkan deadline pengumpulan naskah dan rekaman adalah jam 3 sore hari itu. Aku sudah mencari cara supaya ada orang yang bisa mengantarkanku ke Surabaya namun hasilnya nihil.

Sore harinya aku mendengar kabar dari salah satu teman sekelas yang akan bertanding basket di universitas tempat pengumpulan naskah dan rekaman esok harinya. Namun, itu sudah terlambat 1 hari. Aku tidak yakin apakah naskahku diterima. Akhirnya aku memberanikan diri dan menitipkan naskah dan rekaman suara ke temanku. Saat sedang pelajaran di kelas, tiba-tiba aku menerima sms temanku yang mengatakan bahwa naskahku tidak diterima karena yang kemarin terlambat 10 menit dari batas jam pengumpulan tidak diterima, apalagi aku yang terlambat 1 hari. Pupus sudah harapan ini untuk memperbaiki hasil lomba pidato beberapa bulan sebelumnya di salah satu universitas Surabaya yang dimana aku tidak mendapatkan juara sama sekali.

Besoknya, temanku yang mengumpulkan naskah dan rekamanku bercerita padaku. Map naskahku terkena saos hingga temanku harus berputar-putar mencari map baru dan walaupun naskahku tidak diterima, dia tetap saja menaruhnya di meja tempat pengumpulan. Aku sudah tidak mempunyai harapan. Pengumuman finalis yang masuk tahap final untuk tampil berpidato adalah satu minggu sesudah tanggal pengumpulan. Aku sudah lupa kalau aku mengumpulkan naskah dan rekaman. Seperti biasanya, aku membuka email di pagi hari. Aku mendapat email pengumuman 13 peserta yang akan bertanding di Jombang untuk menampilkan pidato masing-masing. Iseng-iseng aku baca email itu dan betapa kagetnya aku menemukan namaku masuk daftar 13 peserta ke babak final walau ada di urutan paling bawah. Dengan hati gembira aku menceritakan pada sensei kalau aku lolos seleksi. Sensei pun juga sangat senang dan mengatakan, “Ayo ki kamu jadi juara 1 lah biar bisa ke nasional. Murid-muridnya sensei yang pernah ikut lomba sebelumnya gak pernah ada yang dapat juara 1.“ Sahutku,“ Ya doakan saja sensei.“ Dalam benakku aku berpikiran bahwa mustahil aku bisa menyabet juara 1 karena bahasa Jepangku pun biasa-biasa saja.

Satu minggu aku berlatih keras dengan sensei dan salah satu alumni sekolahku yang pernah ikut lomba yang sama sebelumnya. Tanpa ada harapan yang tinggi, aku hanya berpikir bahwa aku harus bisa memberikan penampilan yang terbaik. Masalah hasil itu adalah urusan Tuhan sesuai yang sering dikatakan Sensei padaku.

Hari H pun tiba, tanggal 30 Januari 2011. Aku meluncur ke MAN Tambak Beras Jombang bersama teman-temanku yang mengikuti lomba lain. Jujur aku sangat deg-degan waktu itu walau aku sudah dua kali ikut lomba pidato bahasa Jepang sebelumnya dan pernah jadi juara 2. Sensei tidak bisa mengantarkan karena harus membuat soal try out kabupaten Sidoarjo. Aku hanya ditemani alumni sekolahku, Ani Senpai.

Aku mengisi data-data yang masih kurang dan mendapat urutan nomer tampil 7. Sesudah acara dibuka, kami didistribusikan ke ruangan yang berbeda sesuai lomba yang kami ikuti. Ruangan lomba pidato penuh dengan penonton dan aku duduk bersama peserta lainnya sesuai nomer urut tampil di bangku terdepan. Peserta pertama mulai maju dan menyampaikan pidatonya. Di tempat dudukku, aku sudah minder sendiri dan keringatku mengalir sangat deras. Itu pertama kalinya aku mengikuti lomba dengan sangat gugup dan keringat terbanyak. Selanjutnya peserta nomer 2, 3, 4, 5, 6 dan akhirnya tiba giliranku.

Aku maju ke depan dan mulai menyampaikan pidatoku. Aku mencoba untuk tenang walau tidak bisa dipungkiri keringatku tetap mengalir dengan deras. Akhirnya aku selesai menyampaikan pidatoku, namun sesi selanjutnya adalah yang paling mendebarkan yakni sesi pertanyaan dari juri. Ada kurang lebih 4 juri dan juri yang memberikan pertanyaanku adalah orang Jepang asli, Yamashina sensei.

“Ricky san, nihongo no bunka no naka de nani ga ichiban suki desu ka?” tanyanya. Arti pertanyaan ini adalah budaya Jepang apa yang paling aku sukai.

“Hanami desu,” jawabku yang berarti budaya melihat bunga sakura. Lega sudah namun masih ada pertanyaan selanjutnya.

“Hanami wo miru koto ga arimasu ka?” tanya Yamashina sensei lagi yang artinya pernah tidak mengalami budaya hanami.

Karena terlalu gugup, aku menjawab ,”Hai, arimasu.” Tapi rasanya ada yang aneh dengan jawaban itu hingga aku meminta untuk diulangi lagi pertanyaanya.

“Iie, arimasen.”jawabku dengan pasti yang artinya aku belum pernah mengalami nya.

Penampilanku berjalan cukup mulus dan aku yakin aku sudah menampilkan yang terbaik. Akhirnya semua peserta sudah selesai tampil dan aku pun tidak mempunyai harapan tinggi untuk menang. Aku segera pergi ke gedung sebelah untuk melihat temanku yang mengikuti lomba karaoke dan ternyata teman-temanku sudah berada disana semua. Kami pun memberi semangat kepada teman kami yang akan tampil. Dia menyanyikan lagu Best Friend milik Kiroro. Setelah semua lomba selesai, kami diberikan waktu selama kurang lebih 1 jam untuk istirahat. Kami pun segera ke mobil untuk makan siang dengan makanan yang kami bawa sendiri berhubung konsumsi lomba yang seharusnya kami dapatkan habis dan pilihannya adalah mie instan yang kami tidak mau.

Sebelum aku selesai makan, aku mendapat sms dari Ani senpai untuk segera kembali karena pengumuman sudah dimulai. Aku pergi duluan karena teman-teman masih menyelesaikan makan. Mereka pun segera menyusul. Pengumuman mulai dibacakan dari lomba yang lain dulu. Dua temanku yang mengikuti lomba lain gagal dan aku mengatakan mereka sudah melakukan yang terbaik. Akhirnya pengumuman lomba pidato pun dibacakan. Ani senpai datang menghampiriku dan berkata ,“ Hayo, kalau kamu ke Jakarta nanti gimana?“ Sahutku ,“ Gak mungkin lah sensei, yang lain bagus-bagus.“ Dalam hati aku Cuma berharap setidaknya aku mendapat juara harapan 3. Juara harapan 3 sudah dibacakan namun namaku tidak disebutkan. Diikuti juara harapan 1 dan 2 yang namaku pun tidak disebutkan. Juara 3 dan 2 pun sudah dibacakan namun namaku tidak ada. Pupus sudah harapan ini batinku, juara 1 rasanya tidak mungkin. Lalu ada suara dari podium ,“Dan juara 1 lomba pidato bahasa Jepang MGMP Provinsi 2011 yang akan mewakili Jawa Timur ke Lomba tingkat nasional adalah......“ ada jeda yang cukup panjang. “Ricky Kurniawan dari SMA Negeri 3 Sidoarjo” Aku rasanya tidak percaya bahkan aku memastikannya dengan bertanya pada Ani senpai yang ada di sebelahku. Semua pemenang diminta maju untuk berfoto dan menerima penghargaan serta hadiah. Aku sungguh seperti bermimpi. Bagaimana aku bisa jadi juara 1? Sesudah sesi foto selesai aku turun dari podium dan banyak orang dating untuk member selamat kepadaku. Segera aku pun mendapat telepon dari Sensei ku yang juga mengucapkan selamat. Rasanya aku masih ingat dengan kata-kata sensei tentang impiannya agar aku bisa jadi juara 1 dan semua itu terwujud. Sungguh hanya rasa syukur kepada Tuhan yang membuat semuanya itu terjadi. Piala dan hadiah yang aku genggam membuatku terharu.

Aku mengisi data yang diperlukan untuk dikirim ke nasional. Aku diharuskan untuk menyerahkan pas foto hari itu juga tapi bodohnya aku lupa membawa pas foto hingga aku kebingungan setengah mati. Beruntungnya ada teman-temanku yang luar biasa dan membantu. Aku mengambil pas foto dengan kamera HP salah seorang temanku dan segera mencetaknya di warnet terdekat venue lomba. Lalu kami pun pulang dan di mobil pun aku masih mendapat ucapan selamat dari teman-temanku. Sesampai aku di rumah, aku tunjukkan piala ku kepada papa dan kakakku dan mereka memberiku ucapan selamat, walau papa tidak secara langsung bisa mengungkapkan perasaanya. Sungguh Tuhan itu baik!

to be continued.....

From Sidoarjo to Texas


Dua tahun sudah berlalu sejak program pertukaran pelajarku berakhir, namun memori-memori indah tersebut akan selalu ada di hati dan pikiran ini. Betapa beruntung dan berterima kasihnya aku atas kesempatan emas yang Tuhan berikan padaku. Terpilih menjadi seorang siswa pertukaran pelajar bukanlah hal yang mudah. Banyak proses dan tahapan seleksi yang harus dilewati di tingkat regional, nasional, dan internasional.

Aku masih ingat pertama kali aku memberanikan untuk mendaftarkan diri mengikuti program ini. Aku tidak mempunyai ekspektasi yang besar, aku hanya ingin mencoba. Pertama kali, aku harus membeli formulir lalu melengkapi formulir tersebut serta melampirkan berkas-berkas yang diperlukan. Setelah itu, hari seleksi tahap pertama di tingkat daerah pun dimulai. Seleksi tahap pertama adalah tes pengetahuan umum seputar berita-berita nasional dan internasional yang sedang hangat, bahasa Inggris dasar, dan essay. Ada lebih dari 400 peserta yang mengikuti seleksi di tingkat regional. Soal-soal pengetahuan umum adalah yang paling sulit. Betapa senangnya aku ketika dua minggu kemudian namaku tercantum di pengumuman untuk mengikuti tahapan seleksi selanjutnya.

Seleksi selanjutnya adalah wawancara. Bersama dengan kurang lebih 130an peserta yang lolos ke tahap ini, aku mengikuti seleksi tahap ini. Aku mendapat jadwal wawancara di sore hari sekitar jam 4. Dengan pakaian yang sopan, aku masuk ke ruang wawancara. Interviewer aku ada 2 orang dan mereka terlihat sudah sangat biasa dalam hal mewawancarai orang. Aku mencoba menjawab semua pertanyaan yang diberikan kepadaku dengan jawaban yang sederhana. Lagi-lagi Tuhan memberiku kejutan dengan memberi kesempatan padaku untuk mengikuti tahapan seleksi terakhir di tingkat regional atau yang sering disebut chapter.

Seleksi tahap terakhir adalah diskusi kelompok. Waktu itu, ada sejumlah 35 peserta di tahapan seleksi terakhir di tingkat regional. Kami berkenalan satu sama lain dan mereka berasal dari sekolah-sekolah unggulan di kota mereka masing-masing. Yang paling membuat aku minder adalah prestasi-prestasi mereka. Banyak dari teman-temanku ini yang berprestasi di tingkat provinsi dan nasional. Sedangkan aku, mendapat juara lomba di tingkat provinsi pun aku belum pernah saat itu. Kami dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dan diberikan tugas untuk menyusun suatu hasta karya dari bahan-bahan yang disediakan. Lalu kami mempresentasikan hasil karya kami ke peserta yang lainnya dan juri. Sungguh aku tidak pernah menyangka bahwa aku bisa lolos tahap seleksi terakhir di tingkat daerah. Waktu diumumkan beberapa minggu kemudian bahwa aku menjadi kandidat dari chapterku untuk diajukan ke nasional, aku hanya bisa bersyukur kepada Tuhan.

Namun, perjuangan belum berhenti sampai disitu. Aku harus mengikuti seleksi di tingkat nasional yang diadakan di Jakarta beserta dengan 7 temanku yang dikandidatkan untuk mendapatkan program ke Amerika. Seleksi di Jakarta lebih membuatku tidak bisa berharap banyak. Teman-temanku dari daerah lain sungguh hebat-hebat, namun aku tidak mau minder dengan diriku sendiri. Aku mencoba melakukan yang terbaik. Seleksinya adalah wawancara, tetapi yang mewawancarai ini yang membuatku deg-degan. Ada kak Taufik Ismail, perwakilan dari kedubes AS, dewan direksi organisasi pertukaran pelajar ini. Beruntungnya aku (alias sial), aku mendapat kesempatan diwawancarai dalam bahasa Inggris. Singkat cerita, selama kurang lebih 3 hari seleksi tingkat nasional selesai. Aku berkata dalam hatiku bahwa kalau aku bisa lolos seleksi ini maka itu benar-benar hanya kemurahan Tuhan.

Beberapa bulan kemudian pengumuman keluar. Namaku ada dalam surat pengumuman dan aku sudah harus melakukan beberapa hal untuk bisa berangkat ke Amerika. Aku harus mendapatkan banyak imunisasi karena data imunisasi sangat diperlukan untuk mendaftar sekolah di Amerika. Jujur, imunisasi yang sangat banyak mengocek kantong cukup dalam, tetapi Tuhan adakan semua biaya yang aku perlukan bahkan yang tidak pernah aku duga. Selain itu, aku harus mengurus paspor dan mengambil les bahasa Inggris gara-gara aku gagal di tes kemampuan bahasa Inggris. Biaya pun keluar lagi namun Puji Tuhan aku mendapat tempat kursus dengan harga yang cukup murah. Selain itu, aku belajar tari tradisional daerahku dana dan menyiapakan kostum menariku. Lagi-lagi Tuhan tolong karena aku mendapat pinjaman baju dari senior programku karena kalau harus membuat sendiri cukup mahal.

Mendekati keberangkatanku ke Amerika, aku semakin sibuk mempersiapkan barang-barang yang ku perlukan, koper, baju-baju, oleh-oleh untuk keluarga dan teman-teman angkatku nanti di Amerika, dan banyak hal. Jujur, aku menyiapkan semuanya itu sendiri tanpa bantuan dari orang tua mauun kakakku. Aku tidak mau merepotkan mereka dan menggunakan uang tabungan hasil kemenangan di beberapa lomba untuk membeli barang-barang tersebut.

Akhirnya, aku mengikuti karantaina selama 9 hari di Jakarta sebelum berangkat. Air mata membasahi mataku saat aku harus mengucapkan kata-kata perpisahan dengan keluarga dan teman-temanku. Selain itu, aku menangis karena betapa Tuhan begitu luar biasa dan membuat semuanya ini terjadi. Pesawat Malaysian Airlines pun beranjak meninggalkan tanah Indonesia pada tanggal 9 Agustus 2009. Aku hanya berharap bahwa Tuhan senantiasa melindungi keluarga dan teman-temanku dan memampukanku untuk melakukan yang terbaik di Amerika. Kennedy Lugar-Youth Exchange and Study adalah program yang membawaku berangkat ke Amerika, disponsori oleh pemerintah Amerika.

Sabtu, 10 Maret 2012

Setelah sekian lama vakum, akhirnya blog ini terurus lagi. Semoga cerita dan info yang saya bagikan bisa bermanfaat, menginspirasi, dan menjadi berkat buat semua.

Jumat, 19 Februari 2010


I really like this poem. This poem is written on a poster in the my sociology class. I forgot who the writer is.

You humans,
You're all alike
You are scared the different people,

His skin color is not the same,
Big deal

His beliefs don't match ours
So what?

His values aren't normal
Who cares?

His clothes look funny,
Doesn't everyone's?

His accent is odd
You have one too

Did you ever stop to realize
That the people who you stereotype
Are stereotyping you too?